Akademisi China Memperingatkan Potensi Perang Dunia ke 3 di Asia
Seorang akademisi terkemuka asal China telah memberikan peringatan serius tentang kemungkinan Asia menjadi panggung utama Perang Dunia III karena kebijakan Amerika Serikat dan sekutunya. Zheng Yongnian, seorang profesor di University of Hong Kong’s Shenzhen, mengatakan bahwa China bisa berada di tengah badai jika AS memusatkan fokus strategis NATO ke arahnya. Dia juga mengingatkan bahwa ketegangan nuklir di semenanjung Korea bisa memicu krisis yang lebih besar.
Menurut Zheng, meskipun AS mengklaim membawa perdamaian ke Asia di bawah kepemimpinannya, kenyataannya justru sebaliknya. Asia, yang dikuasai oleh AS, sedang menuju ke arah konflik yang tak terhindarkan. Hal ini disampaikan dalam artikelnya yang pertama kali diterbitkan di WeChat dan dikutip oleh South China Morning Post.
Komentar Zheng ini muncul hanya beberapa hari sebelum kunjungan Penasihat Keamanan Nasional AS, Jake Sullivan, ke China untuk melakukan “dialog strategis” dengan Menteri Luar Negeri Wang Yi. Zheng berpendapat bahwa Asia-Pasifik akan menjadi pusat dari konflik dunia di masa depan, mengingat berbagai faktor seperti kepentingan ekonomi, keterlibatan AS, upaya untuk menciptakan mitra Asia bagi NATO, modernisasi militer, dan meningkatnya nasionalisme.
Meskipun ada upaya untuk mengelola ketegangan antara AS dan China, perpecahan yang signifikan masih terjadi dalam berbagai isu, termasuk perdagangan, teknologi, dan antariksa. Laut China Selatan dan Selat Taiwan juga tetap menjadi titik api potensial yang besar. Beijing menganggap Taiwan sebagai bagian tak terpisahkan dari wilayah China, sementara AS berkomitmen untuk mendukung pertahanan diri Taiwan.
Zheng menekankan bahwa AS semakin terlibat di Asia dan menjadi penyelenggara utama konflik di kawasan tersebut. Sejak AS bergeser fokus ke Asia pada akhir tahun 2011, mereka telah membentuk aliansi mini-multilateral untuk melawan China. Tujuan utama AS adalah untuk mengubah fokus NATO agar menganggap China sebagai ancaman besar.
Hubungan antara China dan Uni Eropa juga memburuk dalam beberapa tahun terakhir, terutama terkait isu-isu seperti subsidi untuk kendaraan listrik, hak asasi manusia, dan hubungan Beijing dengan Rusia. Negara-negara anggota Uni Eropa seperti Prancis dan Jerman juga semakin aktif di kawasan Indo-Pasifik.
AS juga sedang berupaya menciptakan mitra Asia bagi NATO dengan memperkuat aliansi dengan negara-negara seperti Filipina, Jepang, dan Korea Selatan. Mereka juga membentuk kemitraan baru seperti Aukus dengan Inggris dan Australia serta Quad dengan Jepang, India, dan Australia.
Jepang, Korea Selatan, dan AS semakin memperkuat aliansi pertahanan mereka sendiri karena kekhawatiran atas kemampuan nuklir Korea Utara. Zheng menyoroti pentingnya peran Jepang sebagai proksi Amerika dan jembatan antara Eropa dan Asia Timur Laut.
Perkembangan seperti pakta pertahanan antara Rusia dan Korea Utara juga mempengaruhi situasi, mendorong Jepang, Korea Selatan, dan AS untuk meningkatkan aliansi pertahanan mereka. Zheng menekankan bahwa tindakan AS juga berkontribusi pada penataan ulang strategis ini.
Dengan kondisi geopolitik yang semakin kompleks, Zheng menegaskan bahwa menghadapi pergeseran ini akan menjadi tantangan besar bagi generasi saat ini. Perlu adanya kerja sama dan dialog untuk mencegah eskalasi konflik yang dapat membawa Asia ke dalam perang dunia yang mengerikan.