Israel Caplok Wilayah Suriah Ketika Rezim Bashar al-Assad Runtuh

Israel Caplok Wilayah Suriah Ketika Rezim Bashar al-Assad Runtuh

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah mengirim pasukan tambahan ke Suriah setelah Israel menginvasi dan mencaplok wilayah negara tersebut pada saat rezim Bashar al-Assad runtuh. Zionis Israel mencaplok lebih banyak wilayah di Dataran Tinggi Golan setelah invasi militernya melintasi garis gencatan senjata selama lima dekade terakhir.

Seorang diplomat PBB, yang berbicara dengan syarat anonim, mengatakan kepada Newsweek, Kamis (12/12/2024), bahwa UN Disengagement Observer Force atau Pasukan Pemantai Pelepasan PBB (UNDOF) telah memperkuat beberapa posisi mereka selama 24 jam terakhir di Dataran Tinggi Golan, wilayah sengketa yang sebagian besar direbut oleh Israel tanpa pengakuan internasional dalam perang tahun 1967—di mana Suriah kemudian tunduk pada gencatan senjata yang dicapai setelah perang berikutnya terjadi pada tahun 1973.

Tahun berikutnya, Resolusi Dewan Keamanan PBB 350 menetapkan zona penyangga yang efektif di antara wilayah Dataran Tinggi Golan yang diduduki Israel dan dikuasai Suriah dan membentuk misi penjaga perdamaian UNDOF untuk berpatroli di sana. Wilayah yang terbagi itu tetap menjadi titik konflik selama hampir setengah abad, termasuk selama perang 14 bulan yang sedang berlangsung antara Israel dan kelompok Hamas, yang didukung oleh Iran dan koalisi Poros Perlawanan-ya, yang mana Suriah menjadi salah satu anggotanya.

Namun, dengan jatuhnya pemerintahan Presiden Suriah Bashar al-Assad pada hari Minggu akibat serangan pemberontak yang cepat, Pasukan Pertahanan Israel (IDF) melancarkan invasi ke Suriah barat daya, merebut kendali zona penyangga, dan melancarkanPerserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah mengirim pasukan tambahan ke Suriah setelah Israel menginvasi dan mencaplok wilayah negara tersebut pada saat rezim Bashar al-Assad runtuh.

Zionis Israel mencaplok lebih banyak wilayah di Dataran Tinggi Golan setelah invasi militernya melintasi garis gencatan senjata selama lima dekade terakhir. Seorang diplomat PBB, yang berbicara dengan syarat anonim, mengatakan kepada Newsweek, Kamis (12/12/2024), bahwa UN Disengagement Observer Force atau Pasukan Pemantai Pelepasan PBB (UNDOF) telah memperkuat beberapa posisi mereka selama 24 jam terakhir di Dataran Tinggi Golan, wilayah sengketa yang sebagian besar direbut oleh Israel tanpa pengakuan internasional dalam perang tahun 1967 di mana Suriah kemudian tunduk pada gencatan senjata yang dicapai setelah perang berikutnya terjadi pada tahun 1973.

Tahun berikutnya, Resolusi Dewan Keamanan PBB 350 menetapkan zona penyangga yang efektif di antara wilayah Dataran Tinggi Golan yang diduduki Israel dan dikuasai Suriah dan membentuk misi penjaga perdamaian UNDOF untuk berpatroli di sana. Wilayah yang terbagi itu tetap menjadi titik konflik selama hampir setengah abad, termasuk selama perang 14 bulan yang sedang berlangsung antara Israel dan kelompok Hamas, yang didukung oleh Iran dan koalisi Poros Perlawanan-ya, yang mana Suriah menjadi salah satu anggotanya. Namun, dengan jatuhnya pemerintahan Presiden Suriah Bashar al-Assad pada hari Minggu akibat serangan pemberontak yang cepat, Pasukan Pertahanan Israel (IDF) melancarkan invasi ke Suriah barat daya, merebut kendali zona penyangga, dan melancarkan serangan darat, udara, dan laut besar-besaran terhadap berbagai bekas lokasi militer Suriah, termasuk lokasi rudal dan pesawat nirawak, jet tempur, kapal perang, dan persediaan senjata kimia.

Sejak saat itu, pejabat PBB mengatakan bahwa IDF juga telah memindahkan personel ke daerah tersebut, yang membatasi pergerakan pasukan penjaga perdamaian PBB di Dataran Tinggi Golan. “Kebebasan bergerak UNDOF sangat dibatasi dalam konteks saat ini,” kata pejabat PBB tersebut. “Sangat penting bahwa pasukan penjaga perdamaian PBB diizinkan melaksanakan tugas yang diamanatkan tanpa hambatan,” ujarnya. “Misi tersebut secara konsisten meminta semua pihak untuk mempertahankan gencatan senjata,” imbuh pejabat PBB tersebut. “Yang penting bagi semua pihak adalah menahan diri dari tindakan apa pun yang melanggar perjanjian tentang Pelepasan tahun 1974 dan menghormati UNDOF dan mandatnya.

” PBB, yang secara konsisten mengutuk keputusan Israel tahun 1981 untuk mencaplok bagian Dataran Tinggi Golan yang direbutnya pada tahun 1967, telah meminta Israel untuk segera menghentikan operasi militer di luar garis gencatan senjata. “Pasukan penjaga perdamaian di UNDOF memberi tahu rekan-rekan Israel bahwa tindakan ini akan menjadi pelanggaran Perjanjian Pelepasan 1974 yang menyatakan bahwa tidak boleh ada pasukan atau aktivitas militer di area pemisahan,” kata juru bicara Kantor Sekretaris Jenderal PBB Stephane Dujarric dalam jumpa pers hari Senin lalu.

“Israel dan Suriah harus terus menegakkan ketentuan perjanjian 1974 itu dan menjaga stabilitas di Golan.” Dalam pidato yang disampaikan dari Dataran Tinggi Golan pada hari sebelumnya, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu mengaku bertanggung jawab atas serangkaian peristiwa yang menyebabkan jatuhnya Assad melalui “tindakan keras IDF terhadap Hizbullah dan Iran”, yang mendukung pemimpin Suriah tersebut selama perang saudara di negaranya yang pertama kali pecah pada tahun 2011.

Netanyahu menyebut serangan IDF ke zona penyangga Dataran Tinggi Golan sebagai “posisi pertahanan sementara” yang diambil karena perjanjian gencatan senjata tahun 1974 telah runtuh setelah pasukan Suriah meninggalkan posisi mereka. Dia mengaku memerintahkan serangan itu. “Untuk memastikan tidak ada pasukan musuh yang menyusup tepat di sebelah perbatasan Israel,” katanya. “Dataran Tinggi Golan akan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari Negara Israel selamanya,” imbuh dia.

Sementara pesan Netanyahu tampaknya mengisyaratkan pemutusan perjanjian gencatan senjata yang pertama kali dicapai dengan mendiang ayah Assad, yang memerintah Suriah dari tahun 1971 hingga kematiannya pada tahun 2000, Perwakilan Tetap Israel untuk PBB Danny Dannon menyatakan bahwa negaranya tetap berkomitmen pada perjanjian gencatan senjata tahun 1974 dalam sebuah surat yang dikirim ke Dewan Keamanan PBB pada hari Senin. Pejabat PBB yang berbicara dengan Newsweek mengatakan bahwa mandat UNDOF tidak berubah dari misi yang diuraikan dalam Resolusi Dewan Keamanan PBB 350.

“Tetapi kenyataannya adalah bahwa dalam konteks keamanan saat ini, mereka mengamati dan memantau dari posisi statis,” ujarnya. “Penting untuk menekankan bahwa semua posisi yang mereka miliki saat ini masih ditempati,” kata pejabat PBB tersebut. “Tidak ada satu pun dari mereka yang dikosongkan dan tidak ada personel yang direlokasi atau dievakuasi,” paparnya. “Mereka masih akan memiliki lebih dari 1.300 personel berseragam,” imbuh pejabat PBB tersebut.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *